Thursday 30 October 2008

Resensi


Negara Kelima, sebagaimana novel keduanya, Rahasia Meede, masih mengangkat tema yang sama, sejarah. Dan pemuatannya pun masih menggunakan pengantar teka-teki dan pembunuhan. Dalam novel ini, diceritakan tentang pembunuhan misterius putri seorang perwira menengah Polda Metro Jaya. Dalam tempo 48 jam 2 orang gadis juga terbunuh. Kedua gadis remaja ini masih terkait sebagai sahabat dekat. Selang beberapa hari kemudian, Inspektur Satu Rudi Djatmiko yang menyelidiki kasus pembunuhan tersebut juga menjadi korban pembunuhan misterius tersebut.

Satu-satunya petunjuk yang menghubungka keempat kasus tersebut adalah symbol piramida dengan belahan diagonal pada bagian alasnya yang digoreskan pada tubuh korban. Symbol dari Kelompok Patriotik Radikal (KePaRad) yang beberapa waktu terakhir mengacaukan sejumlah situs pemerintahan, system perbankan, dan system keamanan di beberapa pusat keramaian.
Salah seorang perwira Detusus Antiteror Polda Metro Jaya, Timur Mangkuto dituduh sebagai pelaku serentetan peristiwa tersebut. Namun ternyata dia hanya dijadikan kambing hitam dari pelaku yang sebenarnya adalah rekannya sendiri dalam jajaran kepolisian. Dia dimanfaatkan oleh kelompok yang menginginkan Serat Ilmu, benda bersejarah yang berumur lebih dari sebelas ribu tahun yang akan dijual kepada salah seorang investor kaya.

Bersama Eva Duani, putri professor Duani Abdullah, Timur mencoba memecahkan teka-teki kelima Negara untuk mengetahui pelaku sebenarnya. Beragam peristiwa dan kejadian menegangkan mereka alami. Penghianatan salah seorang stafnya di Detsus Antiteror yang memanfaatkan dirinya untuk mencuri Lempeng Emas Tatagatha di Musium Jakarta. Hingga penggerebekkan di kediaman Profesor Duani Abdullah oleh Kombes Riantono dan Komisaris Melvin beserta satu inti pasukannya.

Setelah melalui beragam masa-masa sulit, akhirnya Timur Mangkuto dan Eva Duani akhirnya menemukan titik terang. Semua kasus tersebut ternyata memiliki satu simpul yang menyatukan satu sama lain. Melalui Ibu Amanda, Ibunda Mauren, yang dihubungi Komisaris Atmakusumah, Timur mengetahui siapa dalang dari serangkain pembunuhan yang menyebabkan dirinya menjadi buronan. Pelaku sebenarnya adalah teman sejawatnya sendiri, Komisaris Melvin. Alasannya sederhana, karena ketamakan atas harta dari benda bersejarah berusia ribuan tahun tersebut.

Melvin sebenarnya pernah bergabung dalam Kelompok Patriotik Radikal. Namun, karena dia tidak mampu memecahkan teka-teki kelima Negara akhirnya dia tetap pada tingkatan para pencari atau tingkatan paling dasar. Tetapi itu tidak lama. Ia akhirnya keluar dari kelompok tersebut. Dari perkenalannya dengan kelompok radikal tersebutlah ia mengetahui tentang Serat Ilmu dan Lempeng Emas Tataghata. Bersama Steve dan Profesor Budi Sasmito mereka masuk ke dalam tubuh kepolisian untuk dapat mengusai kedua benda bersejarah tersebut dan badan kepolisian sekaligus. Profesor Budi Sasmito sendiri sebenarnya adalah salah satu dari empat orang Indonesia yang menempuh pendidikan sejarah klasik di Universitas Sorborn, Prancis bersama Prof. Duani Abdullah, Prof.Sunanto Arifin, dan Prof. Amirudin Syah.

Pada saat sama-sama menempuh pendidikan S-3 di Universitas yang sama di Prancis, keempat Profesor ini melakukan penelitian tentang benua Atlantis. Penelitian mereka berujung pada kesimpulan yang menyatakan bahwa benua atlantis yang hilang sebenarnya berada di bawah kepulauan Nusantara, atau Indonesia sekarang. Ketika kembali ke Indonesia mereka berniat mengadakan penelitian dengan titik fokus di sekitar laut Cina Selatan yang dipercaya sebagai letak tenggelamnya benua Atlantis. Namun usaha mereka tersebut tidak disetujui oleh pemerintah dan kampus dengan alasan terlalu jauh dari realitas sejarah Indonesia. akhirnya penelitian itupun berakhir dengan kesia-siaan.

Saat sebuah korporasi asing berniat membiayai semua penelitian mereka, perpecahan pun terjadi. Prof. Budi Sasmito setuju dengan tawaran tersebut, tetapi tidak dengan kedua rekannya, Prof. Sunanto Arifin dan Prof. Duani Abdullah. Karena jika penelitian tersebut berhasil maka hasil dari penelitian tersebut milik korporasi asing sepenuhnya. Itulah yang tidak mereka setujui. Alasannya, “Kita adalah ilmuwan mengabdi untuk ilmu pengetahuan, bukan untuk uang.” Akhirnya penelitian panjang mereka pun berhenti.

Tetapi secara sembunyi-sembunyi, Budi Sasmito melakukan penelitian sendiri dengan memanfaatkan keterkaitannya dalam kasus pembunuhan misterius bersama pihak kepolisian. Begitu juga dengan Prof. Sunanto Arifin. Dia berencana membangkitkan lagi kejayaan Atlantis di Indonesia dengan memanfaatkan generasi-generasi muda. Mereka diiming-imingi janji revolusi dengan bantuan Serat Ilmu dan Lempeng Emas Tataghata. Dengan perantara kedua benda bersejarah tersebut, mereka berniat akan menghapus kepenguasaan pemimpin yang korup dan tidak memihak kepada rakyat, malah justru menyengsarakan rakyat melalui kepemimpinannya.
Belum sempat janji revolusi itu terealisasikan, Profesor Sunanto Arifin meninggal dunia dan perannya diambil alih oleh Prof. Amirudin Syah yang sebelumnya masih menetap di Prancis. Sama dengan Prof. Budi Sasmito, Prof. Amirudin Syah bukan berniat untuk melakukan revolusi, tetapi menguasai sendiri kedua benda bersejarah tersebut untuk dijual kepada korporasi asing.
Akhirnya, pada puncak yang dijanjikan revolusi akan digerakkan, sebuah tabir yang menutup semua kebohongan dan kemunafikan masa silam terbongkar. Sesaat sebelum ritual dilakukan, Melvin dan Steve muncul mengacaukan ritual tersebut. Mereka ingin menagih janji Prof. Amirudin Syah yang menyamar sebagai Pak Udin, sopir khusus KePaRad yang akan menyerahkan kedua benda tersebut kepada mereka untuk dijual kepada korporasi asing. Para pemuda menyadari bahwa mereka tengah dikelabui oleh Prof. Amirudin Syah atau Pak Udin. Prof. Amirudian Syah akhirnya meluncur jatuh ke jurang saat berebut dengan Melvin. Sedangkan kedua benda tersebut jatuh di perairan Selat Malaka.

Saat itulah puncak dari cerita dalam novel tersebut. Kombes Riantono dan Inspektur Satu Timur Mangkuto beserta pasukan Khusus Anti Teror datang ke tempat tersebut. Iptu. Timur Mangkuto telah bebas dari semua tuduhan yang ditimpakannya berkat rekaman pembunuhan Melvin terhadap Lidya, putri Kombes Riantono. Melvin tertangkap basah. Tetapi ia tidak langsung mengakui kesalahannya, ia malah mengungkapkan semua kecurangan Kombes Riantono yang merekayasa TKP tempat anaknya terbunuh agar ia dapat menaikkan pangkatnya. Kombes Riantono kalap. Dengan segera ia menarik pistol di sakunya dan mengarahkan ke dada Melvin. Empat peluru bersarang tepat di dada komisaris kepercayaan Riantono. Melvin roboh seketika, dan Kombes Riantono baru saja memusnakan sendiri karirnya di dunia kepolisian.

Akhirnya, cerita pun berakhir dengan happy ending. Timur Mangkuto menikah dengan Eva Duani yang masih sama-sama memiliki keturunan minang.
Ada beberapa hal yang saya tangkap dari Novel Negara Kelima karya ES Ito itu. pertama, melalui teka-teki Negara pertama hingga Negara kelima, ES Ito ingin mencoba menyadarkan kembali kepada pembaca, khususnya kepada masyarakat Indonesia sendiri, bahwa bangsa Indonesia atau Nusantara merupakan Negara yang kuat dan besar. Negara ini dulunya menjadi imperium terkuat dalam sejarah melalui kerajaan-kerajaannya di tiap daerah di Nusantara. Seperti kata-kata terakhir dalam novel tersebut, Nusantara ini bukan sekedar serpihan bekas Kolonial Belanda! Nusantara kita mungkin lebih tua dari negeri-negeri utara. hegemoni utara yang membuat negeri-negeri selatan menjadi kerdil dan lupa akan sejarah panjangnya sendiri.
Kedua, masih melalui teka-teki Negara pertama hingga kelima. Ia menggunakan teka-teki Atlantis yang konon tenggelam di dasar laut Cina selatan hingga ke ujung kepulauan kecil yang saat ini kita sebut dengan Kepulauan Ocean. Dengan kata lain, Nusantara kita merupakan Negara Atlantis yang hilang. Negara yang sangat terkenal dengan kejayaan negerinya. Seperti yang terkutip dalam buku dialog yang di tulis oleh Plato, Timaeus dan Criteas yang ia dapatkan dari seorang penyair terkenal Yunani, Solon.

Ketiga, ES Ito juga ingin menyadarkan kembali kembali ingatan kita kepada sejarah yang telah terlupakan, bahkan tidak pernah dibahas dalam buku pelajaran Sejarah di sekolah. Tentang wilayah Minangkabau yang menjadi pusat terbentuknya PDRI atau Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang didirikan oleh Sjafrudin Prawiranegara pada tanggal 22 Desember 1948. PDRI didirikan sebagai wujud pemberontakan bahwa Indonesia masih berdiri ketika Belanda menyerang ibu kota Yogyakarta.
Mungkin banyak orang yang beranggapan bahwa ES Ito dalam 2 novelnya selalu mengunggulkan daerah kelahirannya sendiri, yaitu Sumatra Barat. Seakan-akan melalui tulisannya ini ia ingin mempopulerkan daerahnya sendiri. Menunjukkan bahwa Padang dan daerah-daerah di Sumatra Barat merupakan daerah yang besar, yang memiliki nilai sejarah dan kebudayaan yang tidak kalah dengan daerah-daerah lainnya di Negeri ini.

Tetapi, terlepas dari itu semua. Saya yakin maksud ES Ito adalah ingin mengungkapkan kembali sejarah yang terlupa tentang daerahnya, kampong halamannya. Hal ini sebagai wujud protes putra daerah yang merasa Negeri ini telah menelantarkan dan menganggap anak tiri daerah-daerah di luar pulau Jawa. Dari hari-hari kehari, berita-berita yang dibahas kebanyakan dari daerah-daerah di Jawa saja. Bahkan sampai peristiwa sejarah, yang mestinya menjadi sesuatu yang harus terus di pertahankan agar generasi muda bangsa ini tidak begitu saja melupakannya.
Memang benar, banyak orang yang mengatakan ‘generasi-generasi muda bangsa ini miskin tentang sejarah bangsanya’. Bagaimana generasai muda tidak miskin sejarah kalau sejarah yang di berikan saja tidak lengkap? Belum lagi unsure-unsur manipulasi dari kalangan-kalangan tertentu yang hanya memikirkan materi saja tanpa memikirkan nasip bangsa ini kedepannya. Jika sudah seperti itu, apakah masih pantas dikatakan kalau generasi muda miskin sejarah? Generasi muda miskin sejarah itu karena generasi tuanya menghapuskan sejarah yang ada.
JAS MERAH!!! (aroedi)

1 comment:

selamatkanindonesia said...

O gitu...
pinjam donk bukunya, mumpung tertarik.
Semangat To', ngeblognya!