Monday 15 December 2008

Rehat

Semangat Pendidikan Kaum Pinggiran

Lintang, bujang kecil berkulit hitam, mengayuh kebut sepedanya.
Delapan, puluh kilo setiap hari, demi sekolah yang tercinta

Pasti tahu dong penggalan lirik lagu diatas. Akhir-akhir ini kita sering mendengarnya di radio maupun dari internet. Yupz, itu lagunya grup band Netral yang berjudul Lintang. Lagu tersebut menjadi salah satu single film Laskar Pelangi yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Andrea Hirata.

Kenapa Lintang? Emang siapa sih dia, sampai-sampai Netral mau-maunya buat lagu untuk dia?

Mungkin kalian bertanya-tanya seperti itu. Kalau emang iya, berarti kalian katrok. Hari gini gak tau Lintang? Cepe’ Deh. Lintang itu adalah salah satu tokoh dalam novel dan film Laskar Pelangi yang terkenal karena kejeniusannya. Ia bersama Mahar dan Ikal, dua orang tokoh lainnya, berhasil membawa nama SD Muhammadiyah sebagai juara dalam lomba cerdas cermat se-kecamatan Gantong. Mereka tidak hanya menjadikan SD Muhammadiyah sebagai juara, tetapi sekaligus mengalahkan SD PN Timah yang terkenal elite dan siswanya pintar-pintar. Padahal ketika itu, SD Muhammadiyah sangat dikesampingkan, bahkan dipandang sebelah mata.

Sekolah SD Muhammdiyah, tempat Ikal, Mahar, Lintang dan anak-anak Laskar Pelangi lainnya adalah sebuah sekolah yang sangat memperihatinkan. Atapnya bocor, jika hujan maka akan membanjiri seluruh ruang kelasnya. Dinding-dindingnya dari papan yang telah lapuk, mungkin karena umurnya yang sudah sangat tua dan harus ditopang agar tidak terbang jika ada angin yang lewat. Tidak ada fasilitas pendidikan yang modern. Yang ada hanya meja dan bangku siswa, meja, kursi guru, papan tulis yang sudah terkelupas tripleknya, peta Indonesia yang sudah sangat kumal dan beberapa gambar pahlawan dan rumah adat. Dan lebih lagi, sekolah itu hanya diajar oleh dua orang guru yang mengajar mereka hingga mereka selesai.

Tapi jangan salah sangka, boi. Dari sekolah yang sangat memprihatinkan itu, justru lahir anak-anak jenius dan penuh semangat hasil didikan alam. Dari SD tersebut tidak hanya ada Lintang yang menjadi bintang, tetapi ada juga Mahar, sang seniman alam yang juga berhasil menjadikan SD Muhammadiyah sebagai juara 1 dalam karnaval tujuh belasan dan lagi-lagi nih, mengalah sang juara bertahan, SD PN Timah. Bahkan Ikal, berhasil menyelesaikan pendidikan S2-nya di Universitas Sourborn, Prancis dengan predikat coum loud atau bahasa arabnya jayyid jiddan.

Ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah Laskar Pelangi. Salah satunya tentang semangat. Bagaimana seorang anak nelayan pesisir yang harus menempuh 80 km setiap hari, seperti yang disebutkan dalam penggalan lagu diatas, dapat bertahan dan menjadi seorang anak yang jenius jika bukan karena semangat. Bagaimana seorang putra buruh penambang timah berhasil menempuh pendidikan S2 di Universitas Sourborn, Prancis yang terkenal itu jika bukan karena semangat. Bagaimana anak-anak Laskar Pelangi yang tetap gigih mengenyam pendidikan disekolah “kandang kambing” yang kalau hujan membanjiri ruang kelas mereka, jika bukan karena semangat.

Kedua adalah rasa syukur. Mungkin kita pernah melihat dalam film Laskar Pelangi bagaimana keadaan sekolah mereka. Dapatkah kita bayangkan bagaimana sekiranya kita,yang dalam keseharian kita telah berdampingan dengan beragam fasilitas yang memudahkan kita dalam segala hal, harus tinggal dan sekolah di sekolah Laskar Pelangi yang tidak ada sama sekali fasilitas seperti itu? Apalagi disekitar kita, fasilitas tersebut sudah ada. Seperti sekolah Laskar Pelangi yang miskin dengan SD PN Timah yang bergelimang fasilitas. Ya, bisa saja kita menerimanya dengan ikhlas keadaan tersebut. Tetapi secara umum, pasti ada rasa minder dengan keadaan kita yang terbelakang.

Tetapi, hal itu tidak dengan mereka, anak-anak jenius didikan alam, anak-anak Laskar Pelangi. Mereka tidak pernah merasa minder ataupun rendah diri dengan keadaan mereka. Mereka tetap semangat belajar, tidak pernah bolos sekolah, apalagi tidur waktu pelajaran. Bahkan Lintang, selalu hadir lebih awal dari teman-temannya. Padahal jarak antara sekolah dan tempat tinggalnya sekitar 40 km dan harus melewati rawa-rawa yang penuh dengan buaya-buaya ganas. Mereka tetap bersyukur. Tidak ada kata mengeluh.

Dan yang terpenting, ternyata fasilitas bukanlah segala-galanya. Hal ini telah dibuktikan oleh mereka, anak-anak Laskar Pelangi yang berhasil meraih sukses dengan fasilitas pendidikan yang minim. Banyak fasilitas tetapi tidak ada semangat pendidikannya itu akan sama saja. Belajarlah dari kaum pinggiran tentang semangat dan rasa syukur mereka, agar kita bisa menjadi orang-orang yang sukses dunia akhirat. Amien